2 Februari 2011

LIDAH ISLAM, PRILAKU YAHUDI


Para ahli sejarah Islam menulis, bahwa ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, orang-orang kafir yang tinggal bersama beliau di kota itu ada tiga kelompok, yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraidhzah. Kelompok pertama, diajak Nabi SAW mengadakan perjanjian damai dengan pesan untuk tidak memerangi beliau dan pengikutnya dan jangan membantu seorang pun yang memusuhi Nabi, serta jangan berkawan dengan musuh untuk menyerang beliau. Bagi mereka melakukan perjanjian itu walau mereka tetap dalam kekafirannya dijamin aman atas darah dan harta mereka. Kelompok kedua adalah orang-orang kafir yang memusuhi dan memerangi Nabi SAW. Kelompok ketiga, adalah orang-orang kafir yang tidak ikut dalam perjanjian damai dengan beliau, tapi juga tidak memerangi beliau. Sikap mereka menunggu, apakah Nabi yang menang atau musuh yang menang.

Dari kelompok ketiga ini, ada di antara mereka yang dalam hatinya ingin menolong dan membantu Nabi Muhammad SAW. Sementara ada yang lain dari kelompok ketiga ini yang bergaul secara lahiriah atau berinteraksi (mu’amalah), akan tetapi batinnya tetap membela kaum yang memusuhi Nabi. Prilaku ini mereka tunjukkan agar mendapat keamanan dari kedua belah pihak–tidak diperangi Nabi, tidak juga dimusuhi oleh kelompoknya, dalam kata lainnya, ‘mencari aman’. Dan golongan inilah yang disebut al Qur’an dan Hadis sebagai ‘kaum munafik’.

Diantara ketiga golongan di atas, Bani Quraidhzah lah yang paling getol dari orang-orang Yahudi yang memusuhi dan memerangi Nabi. Disamping itu, di dalam berbagai riwayat dinyatakan bahwa orang-orang Nashrani dari bangsa Arab maupun bangsa Romawi juga sangat memusuhi Nabi SAW seperti halnya orang-orang Yahudi.

Dewasa ini, masih banyak umat Islam kita yang lidahnya Muslim tapi prilakunya Yahudi. Mereka memperlakukan agama sebagai barang dagangan yang bisa diperoleh dan ditinggalkan sesuai dengan selera dan kesenangan sesaat, disamping disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, juga didorong oleh faktor internal, yaitu consumer mentality (mental kunsumen). Consumer mentality ini berasal dari pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap diri manusia yang autonomous, yang lebih dikenal sebagai, liberty (kebebasan), egoisme (keakuan yang tinggi), dan narsisme (kecintaan terhadap diri sendiri).

Liberty atau kebebasan yang dipahami dalam tema ‘laisez faire’, yaitu sebagai hilangnya pembatasan atau campur tangan agama dalam kehidupan. Ditambah lagi dengan pengaruh dari ajaran Sigmund Freud, seorang psikolog bangsa German yang menolak adanya pembatasan yang tidak sah terhadap kebebasan diri, tetapi juga kebebasan-kebesan internal dari aturan-aturan moral yang bersifat mengekang, seperti adat, dan agama.

Seorang muslim tentunya harus mengerti, bahwa Islam memiliki peraturan dan tatanan yang komplit yang mengatur kehidupan dan hidup sebagai manusia, yaitu al Qur’an dan Hadis. Dari cara mengenakan alas kaki sampai memilih seorang pemimpin, dari memilih pembantu rumah tangga yang baik sampai kepada peraturan menjadi konglomerat. Lantaran itu, jika seorang muslim yakin akan kebenaran Islam, maka tidak sepantasnya ia mencari pedoman hidup selain kedua pedoman di atas.

Orang Islam yang melanggar aturan-aturan Islam yang sudah baku, kemudian meniru seperti perbuatan Yahudi dan Nashrani (Kristen), karena tidak lekat hati kepada kitabnya, kemudian mencoba sebisa-bisanya menyesuaikan isi kandungan ayat-ayat al Qur’an dan Hadis Nabi disesuaikan selera. Atau bahkan menghakimi bahwa sebagian ayat-ayat al Qur’an tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sosial sekitar. Perlu dirubah sedemikian rupa, sehingga al Qur’an akan sesuai dengan arus zaman dan modernisasi, pada dasarnya mereka adalah kaum munafik.

Sejatinya, seorang muslim mesti menyadari kekurangan dan kelemahan dirinya. Kelemahan alam syahadah, keterbatasan kedudukan dan kekuasaan yang berada dalam genggaman tangannya. Untuk itulah setiap individu muslim mesti mengenal Allah sedekat mungkin (irfan billah). Ia mesti berusaha memahami al Qur’an sedalam mungkin, mengerti sepenuhnya bahwa kalamullah (ucapan Allah) berbeda dengan omongan dan ucapan manusia (al mukhalafatu lilhawaditsi dan qiyamu binafsihi).

Orang-orang Yahudi yang bengis dan terkutuk itu (tidak semuanya), memang patut mendapat ganjaran dan siksa Allah. Kejahatan mereka dalam merusak tatanan hukum Taurat sedemikian kejinya. Karena itu kehidupan mereka tidak pernah lestari dan damai. Perbuatan maksiat, para rahibnya (ulama) bangkit serentak mencegahnya, namun mereka tak juga berhenti, bahkan para rahib-rahib itu mereka gaet/tarik kepasar, duduk bersama-sama mereka untuk ikut memakan yang haram dan menikmati minuman yang memabukkan. Dan yang menjadi kebiasaan orang Yahudi adalah, jika mereka mendapati kawannya melakukan pelanggaran hukum, mereka melarangnya, tetapi manakala keesokan harinya pelanggar hukum itu melakukan hal yang sama, mereka tidak lagi mencegahnya, karena takut tidak dapat bergaul bersama mereka (HR. Ibu Abi Hatim dari Abdullah bin Mas’ud ra).

Adalah umat Islam, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Bukhari Muslim dari Abu Sa’id al Khudri dan Atha’ bin Yasar, bahwa kaum muslimin meniru-niru perbuatan orang-orang Yahudi, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Bahkan dalam riwayat al Hakim, Nabi menggambarkan kaum muslimin juga akan meniru perbuatan Yahudi, seandainya mereka berani menzinahi perempuan ditengah jalan.

“ Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang dunia ini membuat kamu ta’jub (terkesan) dan dia pun bersumpah atas nama Allah, padahal dialah penentang yang paling keras”. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar